Palu _ Suhu konflik terkait aktivitas pertambangan emas di Poboya, Kota Palu, kian memanas. Ratusan warga penambang tradisional kembali menggelar aksi unjuk rasa di Jalan Batumoranga, jalur menuju kantor PT Citra Palu Mineral (CPM), pada Selasa (12/8/2025).
Aksi yang berlangsung sejak pagi itu diikuti sekitar 500 warga yang selama ini menggantungkan hidup dari penambangan emas tradisional di kawasan Poboya dan wilayah lingkar tambang.
Sehari setelah aksi tersebut, Rabu (13/8/2025), salah satu tokoh masyarakat Poboya, Sofiyar, menyampaikan pandangannya kepada wartawan di kediamannya. Menurutnya, aksi yang dilakukan para penambang merupakan bentuk spontanitas dan luapan kekecewaan warga akibat tuntutan penciutan lahan yang belum juga menemukan titik kejelasan.
“Wilayah ini adalah warisan leluhur kami, bukan pemberian atau milik perusahaan. Di sini kami lahir dan dibesarkan. Kami tidak mau hanya menjadi penonton di tanah sendiri. Potensi emas yang ada di Poboya adalah anugerah Tuhan untuk masyarakat setempat, agar dapat dikelola dan dinikmati demi kesejahteraan bersama,” tegas Sofiyar.
Ia menegaskan bahwa masyarakat Poboya tidak menolak investasi, namun meminta adanya kerja sama yang saling menguntungkan antara penambang rakyat, pihak perusahaan, dan pemerintah.
Menurutnya, solusi terbaik adalah penciutan lahan konsesi perusahaan serta pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR), sehingga aktivitas penambangan rakyat tidak lagi dicap sebagai Pertambangan Tanpa Izin (PETI).
“Kalau aktivitas kami harus dihentikan, hentikan juga perusahaan yang merusak lahan kami. Kami tuan kampung di sini, tapi perusahaan bisa bebas beroperasi,” ujarnya.
Sofiyar menuturkan, sebelum maraknya aktivitas tambang, mayoritas warga Poboya berprofesi sebagai petani. Namun, masuknya perusahaan tambang menyebabkan lahan pertanian menjadi rusak dan tidak lagi produktif, memaksa sebagian besar warga beralih menjadi penambang emas tradisional.
“Dulu kami bertani. Tapi karena lahan rusak, kami terpaksa menambang untuk bertahan hidup. Kami hanya ingin bekerja tanpa takut dan tanpa khawatir kehilangan mata pencaharian,” tambahnya.
Warga berharap pemerintah Kota Palu dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dapat menjadi mediator antara masyarakat dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mewujudkan penciutan lahan sekaligus penerbitan IPR.
Dengan begitu, selain legalitas penambangan rakyat terjamin, aktivitas tersebut juga bisa memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Konflik ini menunjukkan bahwa persoalan tambang di Poboya tidak hanya soal perizinan, tetapi juga terkait keadilan, hak kelola wilayah, keberlanjutan lingkungan, dan masa depan ekonomi masyarakat lokal.
Posting Komentar